Bu Dokter Hasnah Syam Di Daulat Jadi Narasumber Forum Diskusi Indonesia Bebas AIDS 2030

    Bu Dokter Hasnah Syam Di Daulat Jadi Narasumber Forum Diskusi Indonesia Bebas AIDS 2030
    Anggota Komisi IX DPR RI., drg. Hj. Hasnah Syam, MARS.

    JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai NasDem, drg. Hj. Hasnah Syam, MARS., kembali dipercaya menjadi narasumber Forum Diskusi Denpasar 12 edisi ke 128, yang digelar secara virtual, pada Rabu (30/11/2022).

    Forum diskusi dengan dengan tema "Menuju Indonesia Bebas AIDS 2030” itu digelar dalam rangka memperingati Hari AIDS pada 1 Desember.

    Mengawali pemaparannya, Hasnah Syam yang juga Ketua PKK Barru mengapresiasi inisiatif forum ini dalam menyelenggarakan diskusi dan menghadirkan berbagai unsur pengambil kebijakan dan pakar demi menyerap aspirasi masyarakat dan daerah.

    Dalam kesempatan itu dirinya menjawab pertanyaan dari panitia tentang
    permasalahan-permasalaham menuju Indonesia Bebas AIDS 2030 dan upaya pemerintah untuk terus menekan jumlah infeksi HIV baru di Indonesia serta bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam mengurangi angka infeksi baru,
    menuju Indonesia Bebas AIDS 2030.

    Menurut mantan Kadis Kesehatan Barru ini, terdapat beberapa fakta dan kondisi yang terjadi baik dalam lingkup global maupun nasional. Berdasarkan data HIV AIDS di Dunia, Populasi terinfeksi HIV terbesar di dunia adalah, Di benua Afrika kemudian di Asia Tenggara dan di Amerika.

    Dikatakan, tingginya populasi orang terinfeksi HIV di Asia Tenggara mengharuskan Indonesia untuk lebih waspada terhadap penyebaran dan penularan virus ini. Jika ditinjau dari seluruh dunia, menurut estimasi Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), Indonesia memiliki jumlah orang yang hidup dengan HIV terbanyak di Asia Tenggara, yakni sekitar 540.000 jiwa pada 2021. Negara Asia Tenggara dengan pengidap HIV terbanyak berikutnya adalah Thailand, Myanmar dan Vietnam dan jika ditinjau dari seluruh Indonesia, ada beberapa temuan.

    "Jumlah kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada 2021 sebanyak 36.902 kasus. Dari jumlah itu, mayoritas penderitanya merupakan usia produktif. Adapun lima provinsi dengan jumlah kasus HIV terbanyak adalah Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Papua", terang Hasnah.

    Isteri Bupati Barru dua periode ini kemudian menguraikan secara singkat mengenai Bagaimana tren kasus HIV AIDS
    Penderita HIV menurut Kelompok Umur
    Kasus AIDS Menurut Faktor Risiko
    Bagaimana Penularan HIV di Indonesia
    Tren kasus HIV dan AIDS tertinggi dari tahun 2017 sampai dengan 2019 masih sama, yaitu sebagian besar di pulau Jawa. Dapat dilihat di dalam table, bahwa Provinsi dengan jumlah kasus HIV terbanyak adalah Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Papua.

    Kemudian Provinsi dengan jumlah kasus AIDS terbanyak adalah Jawa Tengah, Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau.

    Penderita HIV Menurut Kelompok Umur
    Penderita kasus HIV paling banyak berasal dari rentang usia 25-49 tahun dengan persentase 69, 7% pada 2021. Lalu disusul rentang usia 20-24 tahun sebesar 16, 9?n penderita HIV di atas 50 tahun sebesar 8, 1%. Sementara itu, sebanyak 3, 1% penderita HIV berasal dari usia 15-19 tahun dan usia di bawah 4 tahun sebanyak 3, 1?n 1, 4%. Kemudian, persentase terkecil penderita HIV yang dilaporkan terdapat pada usia 5-14 tahun sebesar 0, 7%.

    Adapun jumlah kasus HIV stadium lanjut atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Indonesia sebanyak 5.750 kasus pada 2021. Mayoritas penderitanya berada pada rentang usia 30-39 tahun. Kemudian sebanyak 29, 4% penderita AIDS berasal dari rentang usia 20-29 tahun. Diikuti 18, 7% penderita pada rentang usia 40-49 tahun, 9, 8% usia 50-59 tahun, dan 3, 4% usia di atas 60 tahun. Sedangkan usia di bawah 15 tahun persentasenya di bawah 2%.Kasus AIDS yang dilaporkan menurut faktor resiko.

    "Faktor risiko AIDS terbesar adalah heteroseks dan homoseks. Penularan HIV di Indonesia, sebagian besar terkonsentrasi pada kelompok populasi kunci “Populasi spesifik” merujuk pada “populasi kunci” dalam HIV. Populasi kunci adalah kelompok masyarakat yang rentan terhadap penularan HIV", ujarnya.

    Lebih jauh dijelaskan bahwa, mereka adalah kelompok-kelompok populasi tertentu yang memiliki perilaku berisiko untuk tertular HIV.
    Berdasarkan laporan SIHA tahun 2019, menurut kelompok berisiko sebagaimana yang terlampir di dalam table: Peringkat pertama adalah Sero Discordant (salah satu pasangan memiliki HIV, sementara yang lain tidak) sebesar 92, 19%.
    Peringkat kedua adalah pelanggan PS (Pekerja Seks) sebesar 10, 57%, dan
    LSL (Lelaki Seks Lelaki) menempati peringkat ketiga untuk persentase HIV positif yang melakukan tes HIV, yaitu sebesar 8, 75%.

    "Melihat laporan tersebut, saya pikir untuk dapat mengakhiri epidemi AIDS, penting untuk berfokus pada pengobatan perempuan dan anak. Meski demikian terdapat tantangan-tantangan dalam pengobatan. Di antaranya: Untuk Perempuan, Ibu Hamil dan Menyusui.

    Tantangan untuk melakukan terapi adalah adanya keterbatasan akses ke fasilitas kesehatan, biaya, stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitar dan efek samping obat", ungkap Hasnah.

    Sementara pada anak dan remaja menurut Hasnah, bukan hal yang mudah untuk mengakses layanan kesehatan. Adanya keterbatasan obat khusus anak dan hambatan hukum seperti kebijakan persyaratan usia juga menjadi alasan sulitnya mendapatkan pengobatan.

    Tanggung jawab pemerintah pusat juga telah dituangkan dalam Pasal 6 huruf a – c Permenkes 21/2013: Tugas dan tanggung jawab Pemerintah dalam penanggulangan HIV dan AIDS, yakni meliputi: Membuat kebijakan dan pedoman dalam pelayanan promotif, preventif, diagnosis, pengobatan/perawatan, dukungan, dan rehabilitasi; Bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kebijakan serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan; Menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional.

    Sementara itu, strategi nasional adalah:
    Mencapai Three Zero pada tahun 2030. Dengan cara, antara lain: tidak ada lagi penularan infeksi baru HIV, tidak ada lagi kematian akibat AIDS,
    dan tidak ada lagi stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).

    Upaya yang terus dilakukan Pemerintah pada 2017 telah dicanangkan strategi Fast Track 90-90-90 yang meliputi: Percepatan pencapaian 90% orang mengetahui status HIV melalui tes atau deteksi dini; 90?ri ODHA yang mengetahui status HIV memulai terapi ARV,
    dan 90% ODHA dalam terapi ARV berhasil menekan jumlah virusnya sehingga mengurangi kemungkinan penularan HIV, serta tidak ada lagi stigma dan diskriminasi ODHA.

    "Dalam rangka mencapai target itu, Kementerian Kesehatan menerapkan strategi akselerasi Suluh, Temukan, Obati dan Pertahankan (STOP)", terangnya.

    Suluh dilaksanakan melalui edukasi yang menargetkan sekitar 90% masyarakat paham HIV; Temukan dilakukan melalui percepatan tes dini dan diharapkan sekitar 90% ODHA tahu statusnya;
    Obati dilakukan untuk mencapai 90% ODHA segera mendapat terapi ARV;
    dan Pertahankan yakni 90% ODHA yang ART tidak terdeteksi virusnya.

    Kemudian bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam mengurangi angka infeksi baru? Untuk merealisasikan epidemi AIDS pada 2030, semua orang harus meningkatkan upaya pencegahan, semua orang dengan hasil tes positif harus segera menjalani treatment ARV, semua orang yang sedang menjalani pengobatan harus disiplin untuk mencapai viral load tersupresi.
    Kita perlu membantu orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS dengan pengobatan yang optimal dan tidak mendiskriminasi dan menyematkan stigma ke mereka.

    "Hambatan-hambatan struktural dan non-struktural perlu kita atasi untuk menurunkan angka kasus HIV", ungkapnya.

    Kemudian bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam mengurangi angka infeksi baru? Untuk merealisasikan epidemi AIDS pada 2030, semua orang harus meningkatkan upaya pencegahan, semua orang dengan hasil tes positif harus segera menjalani treatment ARV, semua orang yang sedang menjalani pengobatan harus disiplin untuk mencapai viral load tersupresi.

    "Kita perlu membantu orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS dengan pengobatan yang optimal dan tidak mendiskriminasi dan menyematkan stigma ke mereka. Hambatan-hambatan struktural dan non-struktural perlu kita atasi untuk menurunkan angka kasus HIV", katanya lagi.

    "Terakhir, beberapa rekomendasi yang dapat saya paparkan di antaranya:
    Penguatan multi-sektoral menjadi penting untuk dilakukan agar mendapatkan dukungan yang cukup program HIV. Sebab kebijakan yang mendukung penanggulangan HIV/AIDS banyak bersumber dari sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, komunitas, dan masyarakat sipil", imbuhnya.

    (Ahkam)

    jakarta
    Ahkam

    Ahkam

    Artikel Sebelumnya

    Milad Gappembar ke 56, Suardi Saleh Sebut...

    Artikel Berikutnya

    Disdukcapil Barru Gelar Sosialisasi Kebijakan...

    Berita terkait